Dituduh Punya Utang
Tanya ustadz, misalnya ada kasus seperti ini,
Ada 4 bersaudara. Anak pertama meninggal dan memiliki 2 anak. Pada januari 2016 ayah mereka meninggal. Di bulan Mei 2016, dilakuakn pembagian waris. Sebelum warisan dibagi, mereka melakukan koreksi terkait utang piutang. Anak kedua, menyatakan bahwa dia dulu (10 tahunan yg lalu) pernah utang 50jt ke ayahnya dipake utk usaha bersama dg kakaknya (anak pertama). Usaha itu gagal dan tdk ada bekasnya. Tidak ada yg tahu, selain anak kedua.
Anak kedua minta, klo dia hrs mengembalikan utang, maka abang (anak pertama) jg harus ikut mengembalikannya. Krn dulu digunakan utk usaha bersama. Sementara ahli waris dr anak pertama menolak, sampai ada bukti. Saat ini anak kedua sdg berupaya mencari bukti keterlibatan anak pertama dalam utang piutang itu…
Bagaimana penyelesaiannya?
Jawab:
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,
Dalam hadis dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَوْ يُعْطَى النَّاسُ بِدَعْواهُم ، لادَّعى رِجالٌ أموالَ قَومٍ ودِماءهُم ولكن البَيِّنَةُ على المُدَّعي واليَمينُ على مَنْ أَنْكر
Andai semua klaim manusia itu diterima, maka akan ada banyak orang yang mengklaim untuk menguasai hartanya orang lain, atau menuntut darah orang lain. Namun mendatangkan bukti itu tanggung jawab yang mengklaim dan sumpah untuk mengingkari menjadi hak yang diklaim. (HR. Baihaqi dan dinyatakan Hasan oleh an-Nawawi).
Hadis ini menunjukkan, tidak semua pengakuan dan klaim boleh diterima. Ketika klaim itu tidak didukung dengan bukti, tidak semuanya bisa diterima.
Untuk memahami kasus di atas, ada tiga hal yang perlu dibedakan,
[1] Pengakuan (al-Iqrar): pernyataan bahwa dirinya telah melakukan sesuatu (pernyataan yang menyangkut hak dan kewajiban diri sendiri)
[2] Klaim (ad-Da’wa): pernyataan bahwa orang lain telah melakukan sesuatu (pernyataan yang menyangkut hak dan kewajiban orang lain)
[3] Bukti (al-Bayyinah): sesuatu di pihak ketiga yang mendukung kebenaran atau kesalahan pernyataan di atas
Dalam kasus di atas,
Dalam kasus di atas, kita bisa menempatkan posisi berikut;
[1] Pernyataan bahwa anak kedua memiliki utang ke ayah 50jt à ini pengakuan (al-Iqrar)
[2] Pernyataan dari anak kedua bahwa kakaknya (anak pertama) ikut terlibat dalam utang itu à ini klaim (ad-Da’wa)
[3] Upaya yang sedang dicari oleh anak kedua à ini bukti (al-Bayyinah).
Ada satu kaidah yang menyatakan,
البينة حجة متعدية والإقرار حجة قاصرة
“Bukti menjadi alasan yang bisa melebar, sementara pengakuan menjadi alasan yang terbatas.”
[Kaidah ini disebutkan oleh ِAbdullah al-Mushili dalam al-Ikhtiyar li Ta’’il al-Mukhtar, 2/146]
Keterangan kaidah:
Ada 2 kesimpulan dalam kaidah di atas,
[1] “Bukti bisa menjadi alasan melebar,
Artinya ketika ada orang melakukan klaim, seperti anak kedua mengklaim bahwa anak pertama juga terlibat utang, maka klaimnya bisa dibenarkan jika dia bisa mendatangkan bukti.
Selama dia tidak bisa membawakan bukti, maka anak kedua tidak bisa melibatkan anak pertama dalam kasusnya.
[2] “Pengakuan menjadi alasan yang terbatas”
Artinya, ketika anak kedua mengaku bahwa dia memiliki utang kepada bapak, maka pengakuan ini hanya mengikat dirinya, dan tidak melebar ke orang lain.
Karena itu, pada asalnya anak pertama bebas dari sangkut paut utang ini. Selama anak kedua tidak bisa mendatangkan bukti. Dan pengakuan anak kedua hanya terbatas untuk dirinya, sehingga 50 jt murni menjadi tanggung jawabnya, sampai dia bisa mendatangkan bukti bahwa anak pertama juga terlibat.
Dr. Muhammad Sidqi al-Burnu mengatakan,
من أقر بدين مشترك عليه وعلى غيره فإن إقراره هذا ينفذ في حق نفسه فقط فيؤاخذ به في ماله ولا يتعداه إلى شريكه ما لم يصدقه أو تقوم البينة.
وأما إذا قامت البينة بشهادة الشهود على أن زيداً من الناس أقرض فلاناً وفلاناً مالاً أو ضار بهما معاً، فإن المؤاخذة على الاثنين فيطالبان معاً برد المال.
Orang yang mengakui dirinya terlibat utang bersama, antara dia dengan kawannya, maka pengakuannya ini hanya mengikat dirinya saja. Sehingga hartanya diambil untuk menutupi utangnya dan tidak melebar ke kawannya, selama kawannya tidak menerima klaim ini atau tidak ada bukti yang mendukung.
Namun jika ada bukti, seperti saksi, bahwa si A menghutangi sejumlah harta ke si B dan si C, maka yang menanggang adalah keduanya. Sehingga keduanya dituntut untuk mengembalikan utang itu bersama. (al-Wajiz fi Idhah Qawaid al-Fiqh al-Kulliyah, hlm. 357)
Demikian, Allahu a’lam.
Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)
Artikel asli: https://konsultasisyariah.com/29788-ketika-dituduh-punya-utang.html